Menciutkan jumlah parpol di Indonesia

Jumlah partai politik yang akan mengikuti lebih dari 10 kali lipat jumlah peserta pemilu pada era orde baru, yakni di atas angka 30-an. Banyaknya jumlah peserta pemilu ini memiliki dua sisi yakni negatif dan positif. Positifnya, menjadi caleg bukan lagi eksklusif. Menjadi caleg saat ini tidak lebih seperti menjadi pelamar kerja. Para caleg dari partai berbeda saat ini dapat berkumpul dengan bebas pada saat mengurus segala persyaratan administrasi seakan-akan bukan rival/saingan saja, persis seperti saat-saat melamar jadi PNS.
Negatifnya, beranjak dari wacana yang berkembang dari pemilu-pemilu lalu, jumlah partai yang banyak ini menambah tinggi turunnya animo masyarakat terhadap politik. Apalagi dengan kinerja DPR yang rendah berbanding lurus dengan perilaku-perilaku tidak terpuji anggota dewan yang tinggi.

Lalu bagaimana menurunkan jumlah parpol? Secara teoritis, jumlah parpol yang ideal menurut pendekatan kualitatif yakni berdasarkan potensi memerintah dalam beberapa waktu (coalition potensial) dan potensi untuk membangun/dilibatkan dalam koalisi (blackmail potensial) jumlah ideal parpol adalah antara 7 dan 8 parpol. Sementara menurut pendekatan kuantitatif, dengan metode NV (Effective Number of Parties in Votes) yakni prosentase distribusi suara yang dimiliki parpol pada pemilu 2004, idealnya berjumlah 12 atau 13 parpol sedangkan dengan metode NS (Effective Number of Parties in Seats)yakni prosentase distribusi kursi yang dimiliki oleh parpol pada pemilu 2004 yang lalu idealnya adalah 14 parpol.

Masalahnya, bagaimanakah cara menciutkannya? Penciutan melalui Undang-undang pada prinsipnya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, yakni langkah yang pernah diterapkan oleh Orde Baru pada awal-awal kelahirannya. Soeharto memaksakan Perti, PSII, NU dan Masyumi menjadi PPP dan IPKI, PNI, PKRI, Parkindo dan Murba menjadi PDI.
Penciutan jumlah parpol hendaklah berjalan berdasarkan permintaan pasar (masyarakat). Partai yang tidak memiliki pendukung harus siap-siap dieliminasi. Bagaimanakah caranya?
UU yang berlaku saat ini menggunakan ET sebagai kunci penciutan partai. Tetapi ternyata tidak efektif. Dalam kenyataannya, partai-partai yang tidak memenuhi ketentuan ET masih tetap dapat mengikuti pemilu dengan hanya berganti baju dan nama.
Solusinya:
Harus ada perubahan dalam sistem pemilu.
1. Sistem pemilu yang saat ini berdasarkan dapil di mana satu dapil dapat terdiri hingga belasan kursi hendaknya diciutkan sehingga satu dapil hanya memuat satu kursi.
2. Pengecilan dapil ini tentu berimplikasi makin membesarnya jumlah parpol karena semakin banyak orang yang membutuhkan parpol sebagai kendaraan politik. Oleh karenanya, abaikan parpol dalam penentuan kursi. Kunci kedua yang penting adalah setiap caleg diwajibkan memperoleh dukungan sekian persen dari calon pemilih. Sebagai contoh apabila calon untuk satu dapil diharapkan hanya 5 orang, maka satu caleg harus memenuhi 20% dukungan dari pemilih. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tidak didapat 5 caleg yang memenuhi syarat maka diambil 5 caleg dengan dukungan terbanyak.
3. Perlakuan tersebut sama untuk caleg dari parpol dan caleg independen.
4. Selanjutnya, tidak ada sistem recalling atau penentuan PAW dari parpol. Apabila ada anggota dewan yang mundur, meninggal atau diberhentikan, diadakan pemilihan sela di dapilnya seperti yang saat ini berlaku di Malaysia.
5. Lalu apakah fungsi parpol? Dengan ketentuan-ketentuan tersebut parpol pada prinsipnya hanyalah menjadi organisasi politik dari orang-orang yang mempunyai aspirasi politik yang sama. Dengan demikian, antara parpol dengan anggotanya akan mempunyai hubungan yang erat sebab diikat oleh visi,misi dan ideologi. Setiap orang yang dicalonkan dari suatu parpol otomatis adalah seorang yang betul-betul pilihan dari parpol tersebut. Parpol pun akan berfungsi sebagai lembaga pengumpul suara dengan demikian parpol mempunyai tanggung jawab moral untuk membina anggota (kadernya) dan memenuhi aspirasi mereka.

Komentar

Top Searching

Postingan Populer