Amrozi, Islam dan Terorisme

Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Kata pepatah usang tersebut ternyata tidak pernah basi ditelan perjalanan zaman. Nabi Muhammad megah pada kelahirannya dan umatnya membuat heboh saat kematiannya. Kenyataan ini ternyata berlaku bagi tiga terpidana bom bali: Imam Samudera, Amrozi dan Mukhlas. Amrozi, pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, 6 Juni 1963 yang lalu, seorang pria yang hanya berkarir sebagai penjual hand phone dan tukang reparasi motor dan mobil tiba-tiba saja menjadi berita hangat nasional. Dan kehangatan berita tentang Amrozi dan kawan-kawan mencapai puncaknya menjelang ajalnya.

Kematian Amrozi menimbulkan sekurang-kurangnya tiga sikap di masyarakat. Bagi nonmuslim yang mengaitkan Islam dengan terorisme, kematian Amrozi adalah ibarat kematian iblis yang di saat-saat kematiannya masih melemparkan senyum busuknya. Bagi simpatisannya, kematian Amrozi adalah kepergian sang martir demi membela keyakinannya. Dan bagi sebagian muslim yang merasa ternodai, kematiannya adalah ibarat pembersihan Islam dari orang-orang noktah hitam yang menjijikkan.

Senyum tanpa dosa
Senyum trio tersangka bom bali yang seakan-akan tanpa dosa ini menimbulkan rasa dongkol bagi korban bom bali yang sudah meyakini Amrozi sebagai pelakunya. Tapi senyum ini menjadi tanda tanya bagi sebagian masyarakat "Apakah benar Amrozi dkk bersalah?"

Pertanyaan itu dapat bermakna dua:
1. Apakah benar Amrozi dkk pelakunya?
2. Apakah salah tindakan Amrozi dkk?

Prestasi yang prestisius
Penangkapan Amrozi dkk sungguh sangat mencengangkan. Hanya dalam waktu beberapa saat saja, kepolisian sudah berhasil menangkap tiga pelaku teroris bom bali. Ini adalah prestasi terhebat kepolisian Indonesia dalam sejarah. Padahal, dalam banyak kasus, seringkali bertahun-tahun kasus-kasus tidak menemukan titik terang. Kenapa polisi begitu cepat menemukan pelakunya?

Teknik yang digunakan konon adalah dengan penelusuran nomor hp. Inilah yang hebat. Bagaimana detailnya, hanyalah kepolisianlah yang tahu. Padahal dalam banyak kasus pencurian hp, no. imei yang kita miliki seakan-akan tidak ada fungsinya. Saya seringkali kehilangan HP, dan melaporkan no imei yang dimiliki baik melalui telpon, sms dan internet, namun tidak ada hasilnya. Untuk melacak SIM Card, cukup dengan membuang SIM Card tersebut saja, kita tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Tetapi kepolisian, hanya dengan bermodalkan penelusuran teknologi GSM ini, dapat dengan cepat membongkar pelaku bom bali. Sungguh hebat.

Ada resah di hati saya. Kalau memang benar teknik tersebut sangat valid, bagaimana dengan SIM Card- SIM Card saya yang hilang. Apa tidak mungkin suatu saat sampai ke tangan seorang teroris, dan tiba-tiba saja saya menjadi tersangka?

Prinsip sang mujahid
Seandainya Amrozi dkk benar-benar pelaku teror bom bali, ketegarannya dan kemampuannya tersenyum menjelang ajal patut dicurigai. Kemampuan tersebut biasanya hanya dimiliki oleh seseorang yang merasa benar dengan tindakannya, dalam arti kata, senyum tersebut hanya mampu dilemparkan oleh seorang mujahid sejati.

Perilaku Amrozi dkk membuat malu sebagian mungkin sebagian besar muslim di negeri ini. Tapi sebenarnya kita musti lebih malu lagi, karena kita membiarkan apa-apa yang menjadi target perjuangan mereka meraja lela. Perjudian, pelacuran, korupsi dan aneka ma'siat lainnya terlihat jelas di depan mata. Dan kita hanya tersenyum-senyum saja melihatnya. Negeri yang penduduknya mayoritas Islam ini, ternyata lebih jahil dari negeri jahiliah.

Kita sering menyalahkan sekelompok umat Islam yang beramar ma'ruf dengan cara mereka yang kita nilai tidak Islami. Tetapi, kita tidak pernah menunjukkan kepada mereka bagaimanakah cara yang Islami tersebut. Kita merasa tersinggung dikait-kaitkan dengan terorisme, namun dalam kehidupan sehari-hari, kita bahkan terlalu sering menerror saudara sendiri.

Mau jadi apa kita?

Komentar

Top Searching

Postingan Populer