Menjual Dakwah dan Tarbiyah sebuah kemunduran berpolitik

Pengalaman buruk akibat penggunaan dakwah untuk kepentingan politik, membuat para pendahulu bangsa Indonesia membuat penegasan untuk memisahkan kegiatan dakwah dan politik. Garis tegas pemisahan antara aktivitas politik dengan aktivitas dakwah telah dilakukan PPP pada tahun 1973. PPP bergerak di bidang politik, dan empat fusi PPP yakni MI, NU, SI dan Perti di bidang keagamaan. Namun, garis tegas pemisahan dakwah dengan politik tersebut sudah mulai luncur karena saat ini sudah hadir partai yang menggunakan dakwah untuk kepentingan politik meskipun berlabel politik untuk dakwah.

Trend penggunaan dakwah untuk kepentingan politik memang sangat jitu. Pengguna dakwah pada masa lalu tidak hanya dari partai Islam, bahkan komunis pun pada awal kemunculannya menggunakan ayat-ayat untuk mengembangkan partainya. Dengan cara itu, komunis berhasil menyusup ke tubuh Serikat Islam yang pada akhirnya memunculkan SI Merah yang selanjutnya berubah menjadi PKI. Sebaliknya, penghentian penggunaan dakwah untuk aktivitas politik telah menyebabkan PPP yang nota bene pada masa lampau merupakan satu-satunya corong politik umat Islam kehilangan suara.

Selama dakwah digunakan untuk berpolitik, umat kemudian menjadi berpecah belah. Masing-masing partai berargumen dengan menggunakan al Qur'an dan Hadits untuk mempertebal fanatisme pendukung. Karenanya, lahirlah massa yang emosional, yang bertindak atas dasar fanatisme yang sangat kaku. Mereka tidak peduli kebenaran. Mereka mati-matian membela partainya, bahkan dengan pengorbanan nyawa. Para dai (politis) hanya tersenyum di atas kobaran darah.

Dakwah politis cenderung melahirkan content-content yang lebih bersifat agitatif daripada konstruktif. Dakwah semacam ini pada akhirnya cenderung bersifat menyenangkan audiens daripada membenarkan. Selagi hasilnya menguntungkan partai, salah atau benar nomor dua. Oleh karenanya, dakwah kemudian bergeser jauh dari tujuannya semula.

Tarbiyah

Partai-partai besar masa lalu termasuk di antaranya Golkar menyadari bahwa pendidikan merupakan ladang yang subur bagi penanaman ideologis. Pemanfaatan tenaga pendidik seumpama guru sangat efektif dalam mengembangkan suara.

Kenyataan-kenyataan tersebut mungkin memberikan ilham pada salah satu partai yang ada saat ini untuk mengemas tarbiyah sebagai salah satu alat pengembangan partai. Seorang murid sangat muda direcoki oleh guru. Oleh karenanya, seorang jamaah tarbiyah merupakan ladang bagi ustadz (ah) politik untuk diciptakan sebagai kader partai yang panatik.

Stop dakwah dan tarbiyah politis

Dakwah dan tarbiyah untuk kepentingan politik pada prinsipnya tidak memberikan keuntungan bagi umat dan jika tidak terkontrol akan dapat menyebabkan perpecahan apalagi mengingat bahwa tanpa adanya kegiatan politis secara langsung saja, umat telah terkotak-kotak. Apalagi, kalau kegiatan politis terhadap umat dibiarkan terbuka. Oleh karenanya, seandainya dakwah dan tarbiyah politis tidak dihentikan, bukan tidak mungkin suatu saat Indonesia akan menjadi Libanon kedua.

Komentar

Top Searching

Postingan Populer