Indonesia Kekurangan Tokoh yang Konsisten
Apa keunggulan Ronald Reagan dan George Bush yang secara intelektual jauh di bawah Jimmy Carter, namun kenyataannya keduanya lebih berpengaruh? Konsistensi. Konsistensi adalah suatu jaminan bagi pendukung, bahwa apa yang dijanjikan, apa yang diprogramkan seseorang yang didukung pasti akan diperjuangkan. Demi konsistensi, politisi di negeri Sakura lebih memilih mengundurkan diri dari kedudukannya daripada harus mengubah kebijakan (polisinya).
Kebijakan terutama kebijakan politis belum tentu benar atau salah, karena semua sangat bergantung pada waktu. Ambillah contoh kebijakan subsidi. Subsidi di suatu sisi dapat mengurangi motivasi penerima subsidi untuk bekerja keras menanggulangi masalah yang dihadapinya. Oleh karenanya, pada satu waktu, kebijakan subsidi dapat merupakan racun bagi perekonomian. Sebaliknya, pada satu waktu pula, kebijakan subsidi dapat pula menjadi semacam setitik embun di musim kemarau. Oleh karenanya, tidak dapat kita mengatakan bahwa kebijakan subsidi adalah benar atau kebijakan subsidi adalah salah. Waktulah yang menetapkannya.
Dengan waktu sebagai penentu, politisi bisa saja mengambil sikap oportunis. Ketika waktu menghendaki satu kebijakan positif dia mendukung kebijakan tersebut, dan ketika waktu menghendaki kebijakan tersebut negatif, dia menentang kebijakan tersebut. Oportunis seperti ini menjadi orang yang hebat pada saat itu, tetapi mereka yang berani mengambil resiko menentang arus, akan diingat massa ketika kondisi kebijakan tersebut berubah.
Untuk suatu konsistensi, saya mengangkat tangan buat George Bush, yang mana ketika kebijakan mengirimkan pasukan ke Iraq menjadi tidak populer, Bush masih tetap mempertahankannya dan mencari argumennya. Dalam hati kecilnya, Bush mungkin sudah memperkirakan saat ini sudah tidak tepat lagi kebijakannya tersebut, tetapi demi konsistensi, Bush berani menentang arus, mempertaruhkan dukungan publik terhadap partainya. Ketegaran Bush ini lebih kurang sama seperti saat Reagan menolak memberikan visa kepada Yasser Arafat sehingga sidang PBB saat itu terpaksa dipindahkan ke Swiss. Amerika di zaman Reagan, mesti mengalami kekalahan yang sangat telak dalam Sidang PBB dalam kebijakannya mengenai Palestina.
Saya tidak menghormati keputusan yang diambil kedua pemimpin tersebut, tetapi saya sangat menghormati konsistensinya, suatu hal yang sangat mahal di negeri ini. Kita dapat melihat sendiri, bagaimana partai-partai yang secara ideologis mungkin sangat bertentangan berdagang sapi, mempermainkan perasaan para simpatisannya masing-masing yang telah berlaga, beradu mulut, bahkan bermain darah untuk kemenangan partainya.
Dalam krisis konsistensi tersebut, barangkali hanya tinggal beberapa oranglah yang pantas diangkat topi. Membaca berita-berita di media, saya angkat topi terhadap T. Mirza Dal Ketua DPRD Rokan Hulu yang konsisten dengan kebijakannya mendukung pemekaran Rokan Darussalam. Di tingkat nasional, pada masa-masa menjabat Gubernur DKI, Jenderal Sutiyoso termasuk tokoh yang konsisten mempertahankan kebijakan-kebijakan pembangunannya yang meski mungkin seringkali melawan arus. Tapi secara umum, kita tidak dapat melihat lagi adanya tokoh-tokoh konsisten serupa.
Kebijakan terutama kebijakan politis belum tentu benar atau salah, karena semua sangat bergantung pada waktu. Ambillah contoh kebijakan subsidi. Subsidi di suatu sisi dapat mengurangi motivasi penerima subsidi untuk bekerja keras menanggulangi masalah yang dihadapinya. Oleh karenanya, pada satu waktu, kebijakan subsidi dapat merupakan racun bagi perekonomian. Sebaliknya, pada satu waktu pula, kebijakan subsidi dapat pula menjadi semacam setitik embun di musim kemarau. Oleh karenanya, tidak dapat kita mengatakan bahwa kebijakan subsidi adalah benar atau kebijakan subsidi adalah salah. Waktulah yang menetapkannya.
Dengan waktu sebagai penentu, politisi bisa saja mengambil sikap oportunis. Ketika waktu menghendaki satu kebijakan positif dia mendukung kebijakan tersebut, dan ketika waktu menghendaki kebijakan tersebut negatif, dia menentang kebijakan tersebut. Oportunis seperti ini menjadi orang yang hebat pada saat itu, tetapi mereka yang berani mengambil resiko menentang arus, akan diingat massa ketika kondisi kebijakan tersebut berubah.
Untuk suatu konsistensi, saya mengangkat tangan buat George Bush, yang mana ketika kebijakan mengirimkan pasukan ke Iraq menjadi tidak populer, Bush masih tetap mempertahankannya dan mencari argumennya. Dalam hati kecilnya, Bush mungkin sudah memperkirakan saat ini sudah tidak tepat lagi kebijakannya tersebut, tetapi demi konsistensi, Bush berani menentang arus, mempertaruhkan dukungan publik terhadap partainya. Ketegaran Bush ini lebih kurang sama seperti saat Reagan menolak memberikan visa kepada Yasser Arafat sehingga sidang PBB saat itu terpaksa dipindahkan ke Swiss. Amerika di zaman Reagan, mesti mengalami kekalahan yang sangat telak dalam Sidang PBB dalam kebijakannya mengenai Palestina.
Saya tidak menghormati keputusan yang diambil kedua pemimpin tersebut, tetapi saya sangat menghormati konsistensinya, suatu hal yang sangat mahal di negeri ini. Kita dapat melihat sendiri, bagaimana partai-partai yang secara ideologis mungkin sangat bertentangan berdagang sapi, mempermainkan perasaan para simpatisannya masing-masing yang telah berlaga, beradu mulut, bahkan bermain darah untuk kemenangan partainya.
Dalam krisis konsistensi tersebut, barangkali hanya tinggal beberapa oranglah yang pantas diangkat topi. Membaca berita-berita di media, saya angkat topi terhadap T. Mirza Dal Ketua DPRD Rokan Hulu yang konsisten dengan kebijakannya mendukung pemekaran Rokan Darussalam. Di tingkat nasional, pada masa-masa menjabat Gubernur DKI, Jenderal Sutiyoso termasuk tokoh yang konsisten mempertahankan kebijakan-kebijakan pembangunannya yang meski mungkin seringkali melawan arus. Tapi secara umum, kita tidak dapat melihat lagi adanya tokoh-tokoh konsisten serupa.
Komentar