Sejarah koalisi partai-partai Islam di Indonesia
Umat Islam merupakan penduduk mayoritas di Indonesia. Seandainya mereka bersatu, secara otomatis mereka akan menang. Potensi ini sangat disadari oleh kalangan politikus dari partai-partai Islam. Karenanya, koalisi berbasiskan agama tersebut, sangat mereka dambakan. Namun kenyataannya, realisasinya ternyata tidaklah segampang yang dikira. Melihat perjalanan sejarah Indonesia, koalisi tersebut seakan-akan hanyalah sebuah mimpi saja. Serikat Islam
Perkumpulan umat Islam pertama di Indonesia yang tercatat dalam sejarah adalah Organisasi Sarikat Islam yang dirintis oleh R.M. Tirto Adisuryo pada tahun 1909 yang bertujuan melindungi hak-hak pedagang pribumi dari monopoli pedagang Tionghoa. Tahun 1911 didirikan Sarikat Dagang Islam oleh H. Samanhudi di Kota Solo yang merupakan organisasi ekonomi berdasarkan agama Islam dengan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Oleh pimpinannya yang baru, H. Omar Said Tjokroaminoto, organisasi ini diubah menjadi Sarikat Islam yang kemudian tidak hanya bergerak di bidang ekonomi tetapi juga merambah ke bidang politik. Dengan segera organisasi mendapatkan banyak anggota. Sayangnya organisasi yang besar ini terpecah setelah disusupi oleh paham sosialis yang dikembangkan oleh Sneevlet yang mendirikan ISDV (Indische Sosialistische Democratische Vereeniging). Akibat penyusupan, SI terpecah dua, SI putih yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto dan SI merah yang dipimpin oleh Semaun. Semaun dan Darsono pada akhirnya dikeluarkan dari SI. SI kemudian berubah menjadi PSI(Partai Sarekat Islam) yang pada kongresnya tahun 1927 mencita-citakan Indonesia merdeka kemudian berubah nama menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) yang kemudian menggabungkan diri kepada Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI). Akibat perbedaan cara pandangan, PSII pecah menjadi beberapa partai politik yakni Partai Islam Indonesia Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abi Kusno, dan PSII sendiri.
Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI)
MIAI adalah badan federasi ormas Islam yang dibentuk dari hasil pertemuan 18-21 September 1927 yang dicetuskan K.H. Hasyim Asy'arie dari NU, dan disambut K.H. Mas Mansyur dari Muhammadiyah dan Wondoamiseno dari Syarekat Islam. K.H. Hasyim Asy'arie menjadi Ketua Badan Legislatif dengan anggota 13 organisasi yang bergabung. MIAI mengordinasikan berbagai kegiatan dan menyatukan umat Islam dalam menghadapi politik Belanda seperti menolak undang-undang perkawinan dan wajib militer. MIAI dibubarkan setelah Jepang datang dan digantikan oleh Masyumi.
Masyumi
Masyumi didirikan pada tanggal 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI karena Jepang membutuhkan dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Pada minggu-minggu pertama pemerintahan Jepang, PSII dan PII dilarang karena Jepang tidak tertarik dengan partai-partai Islam yang berdiri di perkotaan dan berpikiran modernis. Jepang berusaha memisahkan kalangan cendekiawan di perkotaan dan para kyai di pedesaan. Kyai dapat menggerakan masyarakat mendukung Perang Pasifik. Setelah dukungan dari golongan nasionalis di Putera gagal, Jepang mendirikan Masyumi sebagai federasi dari empat organisasi Islam yang diperbolehkan pada masa itu, yaitu NU (Nahdatul Ulama), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Tokoh NU, K.H. Hasyim Asy'arie terpilih sebagai Ketua pada waktu itu.
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) didirikan pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945 dengan tujuan sebagai partai politik umat Islam dan sebagai penyatu umat Islam di bidang politik. Akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para Kyai NU pada persoalan agama saja, NU melalui Surat Keputusan PBNU tanggal 5 April 1952 keluar dari Masyumi. Hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi merenggang pada saat Pemilu 1955 dan menjelang pembubaran Masyumi Muhammadiyah keluar dari NU. Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno pada 1960 karena tokoh-tokohnya dicurigai terlibat gerakan PRRI.
Partai Persatuan Pembangunan
Untuk penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia dalam menghadapi Pemilu Pertama Orde Baru pada tahun 1973, pada tanggal 5 Januari 1973, empat partai Islam: Partai NU, PSII, Perti dan Parmusi difusi menjadi satu yakni partai Persatuan Pembangunan dengan ketua pertama H.M.S. Mintaredja, SH. Akibat permainan orde baru, PPP tidak pernah mampu mendapatkan suara sebanyak yang didapatkan partai-partai Islam pada 1955, namun PPP masih eksis sampai sekarang di mana pada Pemilu 1999 dan 2004 mendapatkan 58 kursi.
Perkumpulan umat Islam pertama di Indonesia yang tercatat dalam sejarah adalah Organisasi Sarikat Islam yang dirintis oleh R.M. Tirto Adisuryo pada tahun 1909 yang bertujuan melindungi hak-hak pedagang pribumi dari monopoli pedagang Tionghoa. Tahun 1911 didirikan Sarikat Dagang Islam oleh H. Samanhudi di Kota Solo yang merupakan organisasi ekonomi berdasarkan agama Islam dengan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Oleh pimpinannya yang baru, H. Omar Said Tjokroaminoto, organisasi ini diubah menjadi Sarikat Islam yang kemudian tidak hanya bergerak di bidang ekonomi tetapi juga merambah ke bidang politik. Dengan segera organisasi mendapatkan banyak anggota. Sayangnya organisasi yang besar ini terpecah setelah disusupi oleh paham sosialis yang dikembangkan oleh Sneevlet yang mendirikan ISDV (Indische Sosialistische Democratische Vereeniging). Akibat penyusupan, SI terpecah dua, SI putih yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto dan SI merah yang dipimpin oleh Semaun. Semaun dan Darsono pada akhirnya dikeluarkan dari SI. SI kemudian berubah menjadi PSI(Partai Sarekat Islam) yang pada kongresnya tahun 1927 mencita-citakan Indonesia merdeka kemudian berubah nama menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) yang kemudian menggabungkan diri kepada Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI). Akibat perbedaan cara pandangan, PSII pecah menjadi beberapa partai politik yakni Partai Islam Indonesia Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abi Kusno, dan PSII sendiri.
Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI)
MIAI adalah badan federasi ormas Islam yang dibentuk dari hasil pertemuan 18-21 September 1927 yang dicetuskan K.H. Hasyim Asy'arie dari NU, dan disambut K.H. Mas Mansyur dari Muhammadiyah dan Wondoamiseno dari Syarekat Islam. K.H. Hasyim Asy'arie menjadi Ketua Badan Legislatif dengan anggota 13 organisasi yang bergabung. MIAI mengordinasikan berbagai kegiatan dan menyatukan umat Islam dalam menghadapi politik Belanda seperti menolak undang-undang perkawinan dan wajib militer. MIAI dibubarkan setelah Jepang datang dan digantikan oleh Masyumi.
Masyumi
Masyumi didirikan pada tanggal 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI karena Jepang membutuhkan dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Pada minggu-minggu pertama pemerintahan Jepang, PSII dan PII dilarang karena Jepang tidak tertarik dengan partai-partai Islam yang berdiri di perkotaan dan berpikiran modernis. Jepang berusaha memisahkan kalangan cendekiawan di perkotaan dan para kyai di pedesaan. Kyai dapat menggerakan masyarakat mendukung Perang Pasifik. Setelah dukungan dari golongan nasionalis di Putera gagal, Jepang mendirikan Masyumi sebagai federasi dari empat organisasi Islam yang diperbolehkan pada masa itu, yaitu NU (Nahdatul Ulama), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Tokoh NU, K.H. Hasyim Asy'arie terpilih sebagai Ketua pada waktu itu.
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) didirikan pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945 dengan tujuan sebagai partai politik umat Islam dan sebagai penyatu umat Islam di bidang politik. Akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para Kyai NU pada persoalan agama saja, NU melalui Surat Keputusan PBNU tanggal 5 April 1952 keluar dari Masyumi. Hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi merenggang pada saat Pemilu 1955 dan menjelang pembubaran Masyumi Muhammadiyah keluar dari NU. Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno pada 1960 karena tokoh-tokohnya dicurigai terlibat gerakan PRRI.
Partai Persatuan Pembangunan
Untuk penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia dalam menghadapi Pemilu Pertama Orde Baru pada tahun 1973, pada tanggal 5 Januari 1973, empat partai Islam: Partai NU, PSII, Perti dan Parmusi difusi menjadi satu yakni partai Persatuan Pembangunan dengan ketua pertama H.M.S. Mintaredja, SH. Akibat permainan orde baru, PPP tidak pernah mampu mendapatkan suara sebanyak yang didapatkan partai-partai Islam pada 1955, namun PPP masih eksis sampai sekarang di mana pada Pemilu 1999 dan 2004 mendapatkan 58 kursi.
Komentar
1. Adanya isu untuk kepentingan bersama
2. Adanya paksaan/tekanan
Ketika paksaan/tekanan mengendur, koalisi pun cerai berai, sebagai contoh partai koalisi terakhir PPP ditinggalkan oleh ormas-ormas pendukungnya persis seperti Masyumi ditinggalkan PSII, Muhammadiyah, NU dan Perti di tahun 50-an