Kurangnya Minat Baca Anak
Bulletin DWP PTRI Jenewa menulis:
Namun, berdasarkan hasil survei lembaga internasional yang bergerak dalam bidang pendidikan, United Nation Education Society and Cultural Organization (UNESCO), minat baca penduduk Indonesia jauh di bawah negara-negara Asia. Indonesia tampaknya harus banyak belajar dari negara-negara maju yang memiliki tradisi membaca cukup tinggi.
Jepang, Amerika, Jerman, dan negara maju lainnya yang masyarakatnya punya tradisi membaca buku, begitu pesat peradabannya. Masyarakat negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka kemana pun mereka pergi, ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, mereka manfaatkan waktu dengan kegiatan produktif yakni membaca buku. Di Indonesia kebiasaan ini belum tampak.
Surabaya E-health
Hakikat Minat Membaca
Minat membaca adalah sumber motivasi kuat bagi seseorang untuk menganalisa dan mengingat serta mengevaluasi bacaan yang telah dibacanya, yang merupakan pengalaman belajar menggembirakan dan akan mempengaruhi bentuk serta intensitas seseorang dalam menentukan cita-citanya kelak dimasa yang akan datang, hal tersebut juga adalah bagian dari proses pengembangan diri yang harus senantiasa diasah sebab minat membaca tidak diperoleh dari lahir. (Petty & Jensen, 1980; Hurlock, 1993).
Minat membaca adalah sumber motivasi kuat bagi seseorang untuk menganalisa dan mengingat serta mengevaluasi bacaan yang telah dibacanya, yang merupakan pengalaman belajar menggembirakan dan akan mempengaruhi bentuk serta intensitas seseorang dalam menentukan cita-citanya kelak dimasa yang akan datang, hal tersebut juga adalah bagian dari proses pengembangan diri yang harus senantiasa diasah sebab minat membaca tidak diperoleh dari lahir. (Petty & Jensen, 1980; Hurlock, 1993).
Membaca adalah berpikir. Tidak ada manusia yang hidup tanpa berpikir, karena sebagai makhluk sosial ia selalu menghadapi berbagai masalah yang perlu dipecahkan. Dengan kata lain, manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan. Kata orang bijak, hidup memang harus memilih. Proses memilih termasuk kategori berpikir, yaitu upaya mental dan fisik yang dilakukan seseorang untuk mengenali, memahami, dan menyikapi sesuatu yang dihadapinya. Ia tidak puas dengan apa yang diberikan alam dan lingkungannya, oleh karena itu ia berusaha untuk memahaminya dan kemudian mencari manfaat dari apa yang dipikirkannya itu. Dalam konteks ini, manusia dikategorikan sebagai makhluk yang berpikir (homo sapiens).
Dalam perspektif komunikologis, berpikir merupakan suatu proses untuk mengenali, memahami, dan kemudian menginterpretasikan lambang-lambang yang bisa mempunyai arti. Di sini banyak terlibat unsur-unsur psikologis seperti kemampuan dan atau kapasitas kecerdasan, minat, bakat, sensasi, persepsi, motivasi, retensi, ingatan, dan lupa, bahkan ada lagi yaitu kemampuan mentransfer dan berpikir kognitif (Bigge, 1982:252-272). Faktor-faktor tersebut banyak menentukan keberhasilan berpikir manusia. Membaca, misalnya, yang mempunyai arti menginterpretasikan lambang-lambang komunikasi secara kognitif, adalah suatu bentuk proses berpikir (Betts, 1967:46-52); bahkan Ruth Strang pada tahun yang sama menambahkan lagi tentang membaca sebagai proses berpikir, yaitu membaca yang dimulai dari sekadar mengenal dan membunyikan huruf, sampai kepada membaca pada tingkat pemahaman paragraf. Tingkatan-tingkatan membaca seperti itu pada pelaksanaannya merupakan proses pergeseran berpikir dari tingkat pemula menuju ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu berpikir untuk memecahkan masalah (Strang, 1967:109-117).
Seiring dengan perkembangan budaya dan kompleksnya peradaban manusia dan masyarakat yang semakin berubah cepat, konsep membaca tidak lagi hanya bertumpu pada konteks berpikir atas textual reading, melainkan sudah merambah ke bidang bacaan nonkonvensional, yang sudah melibatkan dunia informasi dan media elektronik. Pengertian membaca pun bergeser ke arah itu. Lihat saja konteks-konteks membaca dalam kaitan ini, yang sekaligus menggambarkan ruang lingkupnya yang semakin mengembang.
Ada banyak variasi membaca yang terjadi di masyarakat. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan-perbedaan yang ada dalam sosiodemografi dan tingkat kebutuhannya. Oleh karena itu perbuatan membaca yang pada gilirannya menjadi pola kebiasaan membaca termasuk juga minat membaca pada masyarakat, banyak yang mempengaruhinya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Susanto (1982:127, 166, dan 169) bahwa selain usia dan tingkat pendidikan, juga jenis pekerjaannya, serta faktor-faktor lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa membaca merupakan masalah yang cukup kompleks, misalnya membaca yang hanya sekadar membunyikan huruf, membaca kalimat, membaca paragraf, membaca untuk menggali informasi dalam bacaannya, dan membaca yang bersifat fungsional, yakni membaca dalam kategori untuk memecahkan masalah.
Faktanya serba relasional dan kondisional memang, untuk kasus seperti misalnya bahwa mereka yang tingkat pendidikannya lebih tinggi, lebih memiliki kemampuan membaca secara fungsional. Terkadang mereka yang setengah buta huruf pun mampu membaca secara fungsional. Contoh dalam kasus, misalnya, seorang sarjana terkadang tidak pernah tuntas dalam membaca peraturan penggunaan obat warungan, mungkin karena dia sudah merasa tahu akan obat dimaksud (sok tahu), namun bagi mereka yang tingkat pendidikannya lebih rendah, bisa jadi membaca peraturan tadi secara saksama karena ingin mengetahui secara utuh atas informasi yang tertera dalam liflet obat tadi.
Contoh kasus prilaku membaca seperti itu banyak terjadi di masyarakat kita, baik mereka yang secara ekonomi, sosial, pendidikan, dan usia lebih tinggi, ataupun sebaliknya. Hal ini disebabkan antara lain oleh aspek sosial, psikologi, dan budaya dalam masyarakat.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Baca
Chauhan (1978) juga menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi minat:
Perkembangan fisik, merupakan hal yang sangat penting dalam memutuskan perkembangan minat. Seseorang yang secara fisik mengalami kebuataan atau kecacatan pada matanya akan berpengaruh pada ketertarikannya pada aktivitas membaca.
Perbedaan sex (identitas kelamin). Ada perbedaan besar antara minat membaca pada perempuan dan laki-laki. Perbedaan tersebut disebabkan perbedaan fisiologis dan pengaruh budaya, level pendidikan dan kondisi lingkungan.
Lingkungan, menentukan aturan penting dalam memutuskan minat membaca seseorang, misalnya saja linkungan rumah yang kondusif dan memberikan banyak contoh dan stimulus sehingga seseorang akan memiliki kebiasaan membaca.
Status sosial-ekonomi, kondisi keluarga juga menentukan dalam pembentukan minat membaca pada seseorang. Seseorang yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke atas akan dapat memberikan fasilitas dan stimulus bahan-bahan bacaan yang dapat merangsang minat membaca pada anak.
Selain hal-hal diatas, minat yang berkembang pada anak menurut Hurlock (1993), disebabkan karena:
Minat tumbuh bersamaan dengan perkembangan mental. Minat berubah seiring perubahan fisik dan mental yang juga mengalami perubahan. Ketika pertumbuhan mulai berhenti dan level perkembangan dari kematangan tercapai, minat menjadi lebih stabil. Minat membaca pun tumbuh bersamaan dengan perkembangan mental, jenis bahan bacaan yang dibaca seseorang pun akan berubah seiring dengan level perkembangan dan kematangan pribadi.
Minat bergantung pada kesiapan belajar. Anak-anak tidak dapat memperoleh minat sebelum fisik dan mental siap melakukannya. Minat membaca juga bergantung pada kesiapan belajar, minat membaca dapat semakin kuat apabila seorang anak sudah memiliki kemampuan membaca, untuk memiliki kemampuan membaca seorang anak haruslah siap secara fisik (mata yang normal, otak yang sempurna sehingga proses pengenalan dan perangkaian huruf menjadi kata dan kalimat dapat dilakukan) dan kesiapan mental, mampu menangkap makna dan maksud dari rangkaian huruf dan kata.
Minat tergantung pada kesempatan untuk belajar. Kesempatan untuk belajar bergantung pada lingkungan dan minat, baik anak-anak maupun dewasa, yang menjadi bagian dari lingkungan anak. Karena lingkungan anak kecil sebagian besar terbatas pada rumah, minat mereka “tumbuh dari rumah” sehingga kesempatan pertama untuk belajar berasal dari rumah dan lingkungan rumah merupakan reinforcement awal. Minat membaca salah satu contoh paling relevan, dimana lingkungan rumah merupakan stimulus paling awal dan tempat belajar utama bagi seseorang anak untuk belajar membaca dan mempertahankannya dan kemudian dapat menjadi sebuah kebiasaan.
Ketidakmampuan fisik dan mental serta pengalaman sosial yang terbatas membatasi minat anak. Seseorang yang cacat indra penglihatannya akan membatasi aktivitas seseorang tersebut untuk membaca.
Minat diperoleh dari pengaruh budaya. Anak-anak mendapat kesempatan dari orang tua, guru, dan orang dewasa lain untuk belajar mengenai apa saja yang oleh kelompok budaya mereka dianggap minat yang sesuai dan mereka tidak diberi kesempatan untuk menekuni minat yang dianggap tidak sesuai bagi mereka oleh kelompok budaya mereka. Budaya merupakan kebiasaan yang sifatnya permanent, sehingga sangat dimungkinkan dengan adanya budaya membaca akan membuat seseorang secara tidak langsung atau secara langsung terpengaruhui dan kemudian menjadikan minat membaca menjadi tinggi.
Minat dipengaruhi oleh bobot emosi. Ketidaksenangan emosi akan melemahkan minat dan kesenangan emosi yang mendalam akan menguatkan minat. Seseorang yang telah menemukan manfaat dari kegiatan membaca, akan menimbulkan reaksi positif yang akan membuat orang tersebut ingin mengulanginya lagi dan lagi, sehingga kesenagan emosi yang mendalam pada aktivitas membaca akan menguatkan minat membaca.
Minat adalah sifat egosentris dikeseluruhan masa anak-anak, seorang anak yang sangat yakin dengan membaca akan membuatnya memiliki kekayaan wawasan dan kecerdasan dalam menyikapi hidup akan terus menerus melakukan aktivitas membaca sampai dewasa.
Selain yang tersebut diatas Elliot dkk (2000) menjelaskan bahwa minat berperan penting dalam proses belajar mengajar, dan minat harus terus terpelihara, termasuk salah satunya adalah minat membaca. Elliot dkk (2000) juga menjelaskan bahwa untuk dapat memperoleh minat siswa dalam proses pembelajaran diperlukan sebuah stimulus yaitu dengan strategi yang berorientasi curiosity atau teknik mengembangkan dan memfasilitasi curiosity siswa, dengan demikian untuk memperoleh dan menumbuhkan minat membaca pada siswa diperlukan adanya pengembangan dan pemfasilitasan curiosity. Pendapat Elliot dkk diperkuat oleh pendapat Smith & Dechant (1961) bahwa curiosity dan gejala untuk bereksplorasi akan membuat seseorang memperoleh minat, termasuk minat membaca.
Kesimpulannya adalah minat membaca tidaklah dapat ada dengan sendirinya, melainkan didapat dari proses pembelajaran dan perkembangan fisik, perbedaan sex (identitas kelamin), status sosial-ekonomi, lingkungan, perkembangan mental dan fisik, pengalaman sosial, budaya, bobot emosi, sifat egosentris, kesiapan belajar dan kesempatan untuk belajar serta pengembangan dan pemfasilitasan curiosity
Ekonomi dan Membaca
Sebagian besar rakyat Indonesia, masih berkutat memenuhi hajat hidupnya yang paling utama, yakni pangan dan sandang. Belum lagi kebutuhannya untuk memperoleh tempat berteduh alias rumah, dan membiayai pendidikan anak-anaknya, yang wow … selangit mahalnya. Itu, bagi yang kurang mampu. Sementara di kalangan masyarakat yang lebih mampu, membeli barang-barang konsumtif (yang bukan merupakan kebutuhan pokok) agaknya lebih dianggap penting ketimbang membeli buku. Lihat saja pasar telepon selular di Indonesia, yang setiap harinya terjual rata-rata delapan ribu unit, atau hampir tiga juta unit per tahun. Padahal harga handphone termurah berkisar 200-300 ribu rupiah per unit. Jauh lebih mahal dibandingkan harga buku.
Itulah Indonesia, yang menurut beberapa ahli, mengalami loncatan budaya, dari budaya bertutur ke budaya menonton. Tanpa melalui budaya membaca terlebih dulu. Ini bisa dilihat dari angka penjualan pesawat televisi yang rata-rata mencapai 300 ribu unit per bulan, atau enam juta unit per tahun. Sementara harga pesawat TV, paling murah 500 ribu rupiah per unit.
Pertanyaannya sekarang, adakah buku yang mencapai tiras penjualan 3-6 juta eksemplar per tahun, seperti pesawat handphone dan TV? Andrea Hirata saja harus menunggu beberapa tahun, untuk mencapai tiras 700 ribu eksemplar. Tetapi ketika Laskar Pelangi difilmkan, jumlah penontonnya bisa membludak hingga empat juta orang, hanya dalam waktu satu setengah bulan (www.tempointeraktif.com, 14 November 2008).
Kesimpulannya? Orang Indonesia umumnya memang malas membaca. Orang Indonesia lebih suka menonton bioskop dan televisi ketimbang membaca buku atau koran. Orang Indonesia lebih gemar membeli handphone daripada membeli buku dan sumber bacaan lainnya. Jadi, kalau usaha penerbitan dan penjualan buku hingga kini masih tertatih-tatih, jangan salahkan harganya. Jangan salahkan pula kemiskinan.
Membaca dapat membantu mengembangkan pemikiran dan menjernihkan cara berpikir, meningkatkan pengetahuan, memori dan pengalaman. Dengan sering membaca, orang mengembangkan kemampuannya, baik untuk mendapat dan memproses ilmu pengetahuan maupun untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu dan aplikasinya dalam hidup.
Namun, berdasarkan hasil survei lembaga internasional yang bergerak dalam bidang pendidikan, United Nation Education Society and Cultural Organization (UNESCO), minat baca penduduk Indonesia jauh di bawah negara-negara Asia. Indonesia tampaknya harus banyak belajar dari negara-negara maju yang memiliki tradisi membaca cukup tinggi.
Jepang, Amerika, Jerman, dan negara maju lainnya yang masyarakatnya punya tradisi membaca buku, begitu pesat peradabannya. Masyarakat negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka kemana pun mereka pergi, ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, mereka manfaatkan waktu dengan kegiatan produktif yakni membaca buku. Di Indonesia kebiasaan ini belum tampak.
Surabaya E-health
Hakikat Minat Membaca
Minat membaca adalah sumber motivasi kuat bagi seseorang untuk menganalisa dan mengingat serta mengevaluasi bacaan yang telah dibacanya, yang merupakan pengalaman belajar menggembirakan dan akan mempengaruhi bentuk serta intensitas seseorang dalam menentukan cita-citanya kelak dimasa yang akan datang, hal tersebut juga adalah bagian dari proses pengembangan diri yang harus senantiasa diasah sebab minat membaca tidak diperoleh dari lahir. (Petty & Jensen, 1980; Hurlock, 1993).
Minat membaca adalah sumber motivasi kuat bagi seseorang untuk menganalisa dan mengingat serta mengevaluasi bacaan yang telah dibacanya, yang merupakan pengalaman belajar menggembirakan dan akan mempengaruhi bentuk serta intensitas seseorang dalam menentukan cita-citanya kelak dimasa yang akan datang, hal tersebut juga adalah bagian dari proses pengembangan diri yang harus senantiasa diasah sebab minat membaca tidak diperoleh dari lahir. (Petty & Jensen, 1980; Hurlock, 1993).
Membaca adalah berpikir. Tidak ada manusia yang hidup tanpa berpikir, karena sebagai makhluk sosial ia selalu menghadapi berbagai masalah yang perlu dipecahkan. Dengan kata lain, manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan. Kata orang bijak, hidup memang harus memilih. Proses memilih termasuk kategori berpikir, yaitu upaya mental dan fisik yang dilakukan seseorang untuk mengenali, memahami, dan menyikapi sesuatu yang dihadapinya. Ia tidak puas dengan apa yang diberikan alam dan lingkungannya, oleh karena itu ia berusaha untuk memahaminya dan kemudian mencari manfaat dari apa yang dipikirkannya itu. Dalam konteks ini, manusia dikategorikan sebagai makhluk yang berpikir (homo sapiens).
Dalam perspektif komunikologis, berpikir merupakan suatu proses untuk mengenali, memahami, dan kemudian menginterpretasikan lambang-lambang yang bisa mempunyai arti. Di sini banyak terlibat unsur-unsur psikologis seperti kemampuan dan atau kapasitas kecerdasan, minat, bakat, sensasi, persepsi, motivasi, retensi, ingatan, dan lupa, bahkan ada lagi yaitu kemampuan mentransfer dan berpikir kognitif (Bigge, 1982:252-272). Faktor-faktor tersebut banyak menentukan keberhasilan berpikir manusia. Membaca, misalnya, yang mempunyai arti menginterpretasikan lambang-lambang komunikasi secara kognitif, adalah suatu bentuk proses berpikir (Betts, 1967:46-52); bahkan Ruth Strang pada tahun yang sama menambahkan lagi tentang membaca sebagai proses berpikir, yaitu membaca yang dimulai dari sekadar mengenal dan membunyikan huruf, sampai kepada membaca pada tingkat pemahaman paragraf. Tingkatan-tingkatan membaca seperti itu pada pelaksanaannya merupakan proses pergeseran berpikir dari tingkat pemula menuju ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu berpikir untuk memecahkan masalah (Strang, 1967:109-117).
Seiring dengan perkembangan budaya dan kompleksnya peradaban manusia dan masyarakat yang semakin berubah cepat, konsep membaca tidak lagi hanya bertumpu pada konteks berpikir atas textual reading, melainkan sudah merambah ke bidang bacaan nonkonvensional, yang sudah melibatkan dunia informasi dan media elektronik. Pengertian membaca pun bergeser ke arah itu. Lihat saja konteks-konteks membaca dalam kaitan ini, yang sekaligus menggambarkan ruang lingkupnya yang semakin mengembang.
Ada banyak variasi membaca yang terjadi di masyarakat. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan-perbedaan yang ada dalam sosiodemografi dan tingkat kebutuhannya. Oleh karena itu perbuatan membaca yang pada gilirannya menjadi pola kebiasaan membaca termasuk juga minat membaca pada masyarakat, banyak yang mempengaruhinya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Susanto (1982:127, 166, dan 169) bahwa selain usia dan tingkat pendidikan, juga jenis pekerjaannya, serta faktor-faktor lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa membaca merupakan masalah yang cukup kompleks, misalnya membaca yang hanya sekadar membunyikan huruf, membaca kalimat, membaca paragraf, membaca untuk menggali informasi dalam bacaannya, dan membaca yang bersifat fungsional, yakni membaca dalam kategori untuk memecahkan masalah.
Faktanya serba relasional dan kondisional memang, untuk kasus seperti misalnya bahwa mereka yang tingkat pendidikannya lebih tinggi, lebih memiliki kemampuan membaca secara fungsional. Terkadang mereka yang setengah buta huruf pun mampu membaca secara fungsional. Contoh dalam kasus, misalnya, seorang sarjana terkadang tidak pernah tuntas dalam membaca peraturan penggunaan obat warungan, mungkin karena dia sudah merasa tahu akan obat dimaksud (sok tahu), namun bagi mereka yang tingkat pendidikannya lebih rendah, bisa jadi membaca peraturan tadi secara saksama karena ingin mengetahui secara utuh atas informasi yang tertera dalam liflet obat tadi.
Contoh kasus prilaku membaca seperti itu banyak terjadi di masyarakat kita, baik mereka yang secara ekonomi, sosial, pendidikan, dan usia lebih tinggi, ataupun sebaliknya. Hal ini disebabkan antara lain oleh aspek sosial, psikologi, dan budaya dalam masyarakat.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Baca
Chauhan (1978) juga menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi minat:
Perkembangan fisik, merupakan hal yang sangat penting dalam memutuskan perkembangan minat. Seseorang yang secara fisik mengalami kebuataan atau kecacatan pada matanya akan berpengaruh pada ketertarikannya pada aktivitas membaca.
Perbedaan sex (identitas kelamin). Ada perbedaan besar antara minat membaca pada perempuan dan laki-laki. Perbedaan tersebut disebabkan perbedaan fisiologis dan pengaruh budaya, level pendidikan dan kondisi lingkungan.
Lingkungan, menentukan aturan penting dalam memutuskan minat membaca seseorang, misalnya saja linkungan rumah yang kondusif dan memberikan banyak contoh dan stimulus sehingga seseorang akan memiliki kebiasaan membaca.
Status sosial-ekonomi, kondisi keluarga juga menentukan dalam pembentukan minat membaca pada seseorang. Seseorang yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke atas akan dapat memberikan fasilitas dan stimulus bahan-bahan bacaan yang dapat merangsang minat membaca pada anak.
Selain hal-hal diatas, minat yang berkembang pada anak menurut Hurlock (1993), disebabkan karena:
Minat tumbuh bersamaan dengan perkembangan mental. Minat berubah seiring perubahan fisik dan mental yang juga mengalami perubahan. Ketika pertumbuhan mulai berhenti dan level perkembangan dari kematangan tercapai, minat menjadi lebih stabil. Minat membaca pun tumbuh bersamaan dengan perkembangan mental, jenis bahan bacaan yang dibaca seseorang pun akan berubah seiring dengan level perkembangan dan kematangan pribadi.
Minat bergantung pada kesiapan belajar. Anak-anak tidak dapat memperoleh minat sebelum fisik dan mental siap melakukannya. Minat membaca juga bergantung pada kesiapan belajar, minat membaca dapat semakin kuat apabila seorang anak sudah memiliki kemampuan membaca, untuk memiliki kemampuan membaca seorang anak haruslah siap secara fisik (mata yang normal, otak yang sempurna sehingga proses pengenalan dan perangkaian huruf menjadi kata dan kalimat dapat dilakukan) dan kesiapan mental, mampu menangkap makna dan maksud dari rangkaian huruf dan kata.
Minat tergantung pada kesempatan untuk belajar. Kesempatan untuk belajar bergantung pada lingkungan dan minat, baik anak-anak maupun dewasa, yang menjadi bagian dari lingkungan anak. Karena lingkungan anak kecil sebagian besar terbatas pada rumah, minat mereka “tumbuh dari rumah” sehingga kesempatan pertama untuk belajar berasal dari rumah dan lingkungan rumah merupakan reinforcement awal. Minat membaca salah satu contoh paling relevan, dimana lingkungan rumah merupakan stimulus paling awal dan tempat belajar utama bagi seseorang anak untuk belajar membaca dan mempertahankannya dan kemudian dapat menjadi sebuah kebiasaan.
Ketidakmampuan fisik dan mental serta pengalaman sosial yang terbatas membatasi minat anak. Seseorang yang cacat indra penglihatannya akan membatasi aktivitas seseorang tersebut untuk membaca.
Minat diperoleh dari pengaruh budaya. Anak-anak mendapat kesempatan dari orang tua, guru, dan orang dewasa lain untuk belajar mengenai apa saja yang oleh kelompok budaya mereka dianggap minat yang sesuai dan mereka tidak diberi kesempatan untuk menekuni minat yang dianggap tidak sesuai bagi mereka oleh kelompok budaya mereka. Budaya merupakan kebiasaan yang sifatnya permanent, sehingga sangat dimungkinkan dengan adanya budaya membaca akan membuat seseorang secara tidak langsung atau secara langsung terpengaruhui dan kemudian menjadikan minat membaca menjadi tinggi.
Minat dipengaruhi oleh bobot emosi. Ketidaksenangan emosi akan melemahkan minat dan kesenangan emosi yang mendalam akan menguatkan minat. Seseorang yang telah menemukan manfaat dari kegiatan membaca, akan menimbulkan reaksi positif yang akan membuat orang tersebut ingin mengulanginya lagi dan lagi, sehingga kesenagan emosi yang mendalam pada aktivitas membaca akan menguatkan minat membaca.
Minat adalah sifat egosentris dikeseluruhan masa anak-anak, seorang anak yang sangat yakin dengan membaca akan membuatnya memiliki kekayaan wawasan dan kecerdasan dalam menyikapi hidup akan terus menerus melakukan aktivitas membaca sampai dewasa.
Selain yang tersebut diatas Elliot dkk (2000) menjelaskan bahwa minat berperan penting dalam proses belajar mengajar, dan minat harus terus terpelihara, termasuk salah satunya adalah minat membaca. Elliot dkk (2000) juga menjelaskan bahwa untuk dapat memperoleh minat siswa dalam proses pembelajaran diperlukan sebuah stimulus yaitu dengan strategi yang berorientasi curiosity atau teknik mengembangkan dan memfasilitasi curiosity siswa, dengan demikian untuk memperoleh dan menumbuhkan minat membaca pada siswa diperlukan adanya pengembangan dan pemfasilitasan curiosity. Pendapat Elliot dkk diperkuat oleh pendapat Smith & Dechant (1961) bahwa curiosity dan gejala untuk bereksplorasi akan membuat seseorang memperoleh minat, termasuk minat membaca.
Kesimpulannya adalah minat membaca tidaklah dapat ada dengan sendirinya, melainkan didapat dari proses pembelajaran dan perkembangan fisik, perbedaan sex (identitas kelamin), status sosial-ekonomi, lingkungan, perkembangan mental dan fisik, pengalaman sosial, budaya, bobot emosi, sifat egosentris, kesiapan belajar dan kesempatan untuk belajar serta pengembangan dan pemfasilitasan curiosity
Ekonomi dan Membaca
Sebagian besar rakyat Indonesia, masih berkutat memenuhi hajat hidupnya yang paling utama, yakni pangan dan sandang. Belum lagi kebutuhannya untuk memperoleh tempat berteduh alias rumah, dan membiayai pendidikan anak-anaknya, yang wow … selangit mahalnya. Itu, bagi yang kurang mampu. Sementara di kalangan masyarakat yang lebih mampu, membeli barang-barang konsumtif (yang bukan merupakan kebutuhan pokok) agaknya lebih dianggap penting ketimbang membeli buku. Lihat saja pasar telepon selular di Indonesia, yang setiap harinya terjual rata-rata delapan ribu unit, atau hampir tiga juta unit per tahun. Padahal harga handphone termurah berkisar 200-300 ribu rupiah per unit. Jauh lebih mahal dibandingkan harga buku.
Itulah Indonesia, yang menurut beberapa ahli, mengalami loncatan budaya, dari budaya bertutur ke budaya menonton. Tanpa melalui budaya membaca terlebih dulu. Ini bisa dilihat dari angka penjualan pesawat televisi yang rata-rata mencapai 300 ribu unit per bulan, atau enam juta unit per tahun. Sementara harga pesawat TV, paling murah 500 ribu rupiah per unit.
Pertanyaannya sekarang, adakah buku yang mencapai tiras penjualan 3-6 juta eksemplar per tahun, seperti pesawat handphone dan TV? Andrea Hirata saja harus menunggu beberapa tahun, untuk mencapai tiras 700 ribu eksemplar. Tetapi ketika Laskar Pelangi difilmkan, jumlah penontonnya bisa membludak hingga empat juta orang, hanya dalam waktu satu setengah bulan (www.tempointeraktif.com, 14 November 2008).
Kesimpulannya? Orang Indonesia umumnya memang malas membaca. Orang Indonesia lebih suka menonton bioskop dan televisi ketimbang membaca buku atau koran. Orang Indonesia lebih gemar membeli handphone daripada membeli buku dan sumber bacaan lainnya. Jadi, kalau usaha penerbitan dan penjualan buku hingga kini masih tertatih-tatih, jangan salahkan harganya. Jangan salahkan pula kemiskinan.
Komentar